Selasa, 13 September 2022

Tanaman Hidroponik

 Tanaman Hidroponik adalah tanaman yang berarti budidayanya tanaman yang memanfaatkan air dan tanpa menggunakan tanah sebagai media tanam. Merupakan metode atau cara tanam yang tidak menggunakan tanah merupakan definisi dari hidroponik itu sendiri. Kebutuhan nutrisi yang diperlukan oleh tanaman ini berasal dari air, yang dimana segala kebutuhan dari tanaman itu sendiri berasal dari sana.

Senin, 23 Januari 2017

Orang Orang Gerbong

"jadi lelaki bujang itu masih enak, Mas. kalau nggak punya duit, paling-paling bisa ngutang atau mentok-mentoknya nahan laper. tapi kalau sudah jadi bapak, itu beda urusan. beda perasaan. kadang-kadang, waktu yang paling menyedihkan bagi seorang bapak adalah ketika keluarganya sedang membutuhkan sesuatu, sedangkan dia sendiri tidak punya apa-apa" - KA Bogowonto, 2017. 


Hari Minggu itu saya pilih balik menggunakan kereta dengan jadwal keberangkatan malam hari. Selain emang nyari tiket yang paling murah, sepertinya kereta malam itu lebih tenang dan bisa buat istirahat. Berangkat dari Depok, saya diantar Pakdhe dan asistennya sampai ke Stasiun Pasar Senen. Dengan harapan bisa istirahat tidur di kereta, ternyata malam itu malah jadi salah satu malam yang paling 'mikir' buat saya. 

Orang-orang di gerbong itu kebanyakan sudah terlelap, padahal waktu masih pukul 23.00. Ada ibu-ibu yang tidur dengan anaknya, mas-mas dengan pacarnya, mbak-mbak dengan temannya, dan bapak dengan anaknya. Raut-raut wajah yang khas, sarat akan kelelahan. Mungkin karena lelah bekerja, perjalanan jauh, atau karena memang sedang banyak pikiran. Entah berangkat dari hal apa, ingatan saya malah jauh ke belakang, tentang pengalaman naik kereta bersama Bapak. Mungkin juga karena melihat ada sepasang bapak-anak yang cukup membuat saya kangen dengan hal-hal semacam itu. 

Bapak saya selalu bilang, bahwa salah satu syarat menjadi 'manusia' adalah dengan syukur dan ikhlas. Katanya kalau yang dua itu sudah bisa diamalkan, yang lain bakal mengikuti. Sewaktu kecil saya memang tidak terlalu memperhatikan, tapi setelah cukup berumur dan bisa 'mikir', saya jadi nyesel belum sempet minta maaf ke Bapak, kalau dulu sering nyepelein dan cenderung sembrono. 

All the shit my dad tried to share with me I blew off at the time but, for the most part he was right on. Sorry dad it took me this long to learn that. My life would have been a lot easier if I had listened...I guess sometimes the simple things in life are learned the hard way hehe. Jadi sedih. 

Lalu bapak-anak yang tertidur di gerbong itu malah membuat saya trenyuh. Saya jadi mikir, mungkin dua tahun, tiga tahun, lima tahun, sepuluh tahun lagi, bisa saja saya berada di posisi dengan bapak anak itu. Ya, saya dan anak saya. Banyak orang bilang, father is son's first hero. Apakah segagah itu untuk menjadi seorang bapak nantinya? Apakah nantinya akah seindah dan semudah itu? Lagu Father and Son-nya Cat Stevens malah jadi pilihan sambil kereta menembus kabut-kabut persawahan malam. 

Bapak saya selalu bilang, "Bapakmu ini bukan orang punya (bapakmu iki udu wong nduwe)". Bapak juga berkata, bahwa hidup itu selalu ada proses. Dari goblok jadi pinter, dari muda jadi tua, dari takut jadi berani, dan lain hal. Pernah suatu waktu saya dimarahi Bapak karena gelut dengan teman satu sekolah. Katanya, kalau mau dewasa itu bukan dengan adu kekuatan. Belakangan saya tau, maksudnya Bapak adalah kedewasaan itu hadir lewat kemampuan menahan diri. Ya nahan marah, nahan lapar. Sabar. 

Bapak juga sering cerita tentang idolnya. Bapak selalu cerita tentang perjuangan bapaknya sendiri. Dulu orang tuanya kemana-mana jalan kaki. Dulu orang tuanya prihatin. Dulu orang tuanya sabar. Dan sepertinya hal-hal semacam itu 'nurun' ke Bapak. Tetapi Bapak selalu ngasih pilihan yang demokratis. Bapak nggak pernah maksa saya untuk ikut, atau 'niru' Bapak. Salah satu hadiah terbesar yang Bapak kasih ke anak laki-lakinya adalah kepercayaan. Seolah-olah kalau Bapak bicara, ada kata-kata yang tertahan di sorot matanya. Bapak juga jarang ngasih tau, apa itu hidup, bagaimana cara menjalani hidup. Bapak ngasih contoh dan itu cara dia memberi penjelasan. 

Adek saya pernah bertanya, bagaimana caranya ikan bisa bernafas di dalam air. Saya coba kasih penjelasan yang paling sederhana. Dan adek saya tetep bertanya, berulang-ulang. Dan saya malah jadi sadar, mungkin ini juga yang Bapak lakukan sewaktu saya kecil. Mengenalkan dunia dan isinya satu per satu. Ada perasaan sedih ketika seorang Bapak tidak dapat memenuhi ekspektasi dari anaknya, terutama anak laki-laki. 

Makanya Bapak selalu terlihat gagah, padahal Bapak punya penyakit darah. Bapak selalu terlihat cerdas, motivasi agar anak laki-lakinya mau bekerja keras, Bapak selalu terlihat semangat, karena hidup memang berat. Bapak selalu ingin banyak hal. Karena Bapak ingin saya terjamin, terpenuhi, terlindungi. 

Titip rindu untuk bapak, dari anakmu yang sedang berusaha menjadi laki-laki sepenuhnya. Ingatan yang panjang membayang, serta doa-doa yang malam itu aku haturkan. Semoga sehat di sana Pak. 



Kamis, 11 Agustus 2016

Refleksi: Ada Yang Mengajarkan Tentang Kehidupan #2




di antara
galaksi
sembilan planet
ratusan negara
ribuan pulau
milyaran manusia 

ada hal yang patut disyukurkan 
dan ada kenangan yang harus diikhlaskan
ada doa yang harus disegerakan
sebab Allah telah siapkan rencana di masa depan

and I had the priviledge of meeting you


Salah satu momen yang paling menyenangkan pada awal-awal waktu kedatangan kami adalah hangatnya suasana buka puasa dan sahur. Suhu rata-rata diwaktu sahur adalah 13-15 derajat celcius, cukup dingin untuk membuat kental minyak di dalam kemasan mie instan kami. Sahur yang biasanya kami lewati sendiri di Jogja, lalu berubah beramai-ramai di pondokan. Mushola selalu ramai, tidak hanya dengan lantunan ayat suci, beberapa kali kami dengar, ada mushola yang menyiarkan lagu dangdut. Kemudian setelah mendengar itu, kami tertawa bersama. Desa ini benar-benar menakjubkan! Unik dan aneh! Satu lagi, ngangenin! Sayang untuk mengakhirinya.

Di belakang Rumah Putih Kebahagiaan itu ada kebun sayuran. Juga penampilannya yang selalu cantik setiap paginya dengan Sindoro yang kekar membumi. Tidak ada keramaian kendaraan seperti di kota, tidak ada kekhawatiran menuju tempat kerja, tidak ada kecemasan akan hari tua yang entah bagaimana, di sini, yang ada adalah pelajaran mengenai ikhlas dan syukur. Dan hari-hari pembelajaran itu diawali dengan surutnya air yang mengalir ke pondokan kami. Empat belas anggota keluarga, satu kamar mandi, tanpa air. Apa jadinya? Maklum saja kami mengeluh, belum adaptasi rupa-rupanya. Tapi lama-kelamaan terbiasa juga, toh mandi juga sehari sekali. "Mandi hanya untuk orang-orang kotor", begitulah sebagian dari kami berdalih.

Wahyu (alien kecil yang sering meringankan pikiran kami) juga berkata bahwa air memang kadang-kadang susah, sesusah memahami keadaan mengapa hal ini berlangsung lama. Beruntung, di depan pondokan ada kotak ajaib berukuran tak terlalu besar  berisi aliran air bersih yang awalnya tidak layak pakai. Tanpa tedeng aling-aling, kami mencuci piring kotor dan mengambil beberapa ember air tanpa meminta izin terlebih dahulu. Dan esok harinya, sebuah surat cinta menempel di depan pintu pondokan. Seperti Isti yang pertama tahu surat itu. "Pondokan KKN ra gelem takon wong" - kira-kira itu lah yang tertulis dari surat cinta itu. Sampai KKN berakhir, penulis surat cinta itu belum mengaku, atau mungkin dia benar-benar jatuh cinta dengan kami, atau apapun itu yang jelas, kami diajarkan untuk berkenalan dengan sopan. Karena kami seharusnya pada waktu itu tahu, kami pendatang yang memang seharusnya memahami masyarakat, bukan memaksakan teori yang kami punya untuk langsung diaplikasikan. Hmm cara berkenalan dengan surat sepertinya sudah jarang di abad pragmatis ini, ketika setiap orang dapat dengan mudah menyapa orang lain lewat segenggam kotak ajaib bernama smartphone.

"Piket hari ini, menu buka puasanya apa nih? Udah beli galon? Ada motor selo nggak? Duh nggak ada sinyal nih! Mager banget, diluar dingin"

Itulah beberapa kalimat yang biasa kami gunakan. Juga "Ommo"-nya Kikiw yang sering mulai terdengar. Ritual ngabuburit yang biasa kami lakukan sebelum buka puasa adalah: 1. siapkan film untuk hari ini, 2. siapkan proyektor, 3. siapkan speaker, 4. sinergikan semua alat menjadi satu, 5. matikan lampu dan selamat datang di layar tancap penuh kehangatan di Rumah Putih. Beberapa film (yang sebenarnya sudah kami tonton) malah menjadikan suasana makin akrab. Meskipun kadang-kadang diluar hujan. Wow wow ayo kita ulangi lagi guys! Buka puasa bersama kalian dengan penataan piring, kertas minyak, sendok dan menu di karpet dunia atas itu sungguh patut untuk disyukuri! All of you told me how to respect each other. Satu cerita teringat di dalam hati. Kemudian untuk menghangatkan tubuh, ada beberapa nutrisi yang biasa kami makan. Satu, bon cabe (yang menurutku ini adalah salah satu penemuan terbesar abad 21) dan juga sambal my love ala Afifah. Terkadang ada beberapa hal sederhana yang awalnya kita sepelekan, kemudian hal itu tiba-tiba menjadi salah satu bingkisan yang bagus untuk dikenang. Kesuksesan memang membutuhkan proses, dan kalian mengajarkan bahwa proses itu tak melulu sulit.

Suasana Ramadhan, maka tarawih adalah salah satu hal yang paling tepat untuk menyatukan diri dengan warga. Ekspektasi kami, tarawih di Maron tidak jauh berbeda dengan di Jogja. Sebelas rakaat, khotbah secukupnya, lalu bisa langsung berinteraksi di jalan sambil menuju Rumah Putih. Ternyata memang Maron penuh dengan kejutan (lagi). Tarawih berjalan dengan 20 rakaat lebih dan dilakukan dengan tempo yang cukup cepat. Beberapa dari kami kaget, belum terbiasa, tetapi sebagian sudah merasa biasa-biasa saja. Tarawih super hebat! Orang-orang datang dengan menutup kepala dengan sajadah. Khusyuk luar biasa. Dan laki-laki Al-Maroni lebih senang menyebutnya dengan legs day. Entah berawal dari apa penamaan itu muncul, yang jelas itu sangat lucu. Selucu wajah-wajah yang selalu menggigil terkena air wudhu. Selucu Pak Barjo ketika menyapa kami waktu itu.

Dan candaan gila pun muncul setelah itu. Cikal bakal diselenggarakannya platinum time, kalau kata Adam.  Candaan yang membuat suasana menjadi lebih cair. Juga Bang Andy yang ternyata asik juga menyediakan bahan obrolan. Taufiq pun terbawa suasana, meski masih malu-malu. Dan pemicu kekacauan dalam obrolan? Aku sendiri. Heboh. Menertawakan orang lain dan menertawakan diri sendiri. Ada wacana yang sempat membuat perut kami sakit menahan tertawa. Beberapa dari kami bahkan sampai berair mata menahan tawa. Aku terkadang masih ingat betul bagaimana wajah-wajah mereka ketika tertawa. Ada yang menggebuk-gebuk kasur, ada yang tertawa kalem, ada yang tertawa sambil berdesis, dan macam hal lain yang membuat keadaan semakin baik tiap malamnya. Mungkin karena hari-hari itu kami juga belum memulai program. Dan menjelang kami tertidur, Pujir selalu memulai lagu Faded-nya lagi. Kemudian suara lagu itu perlahan-lahan mulai hilang. Karena yang tersisa hanyalah kami yang terlelap tidur. Juga ingatan yang menggiringnya ke dalam mimpi. Malam hangat ketika kami berbagi sekotak ruangan tak terlalu luas untuk berenam. Tak ada malu-malu, tak ada ragu-ragu. Dasarnya laki-laki. Dan setelah pulang, setelah KKN usai, aku merasa rugi karena hal-hal semacam ini tidak didokumentasi. Tapi apalah arti dokumentasi, jika ingatan tetap menyimpan itu semua sebagai kado indah yang terbungkus rapi.

Menjelang Idul Fitri, kami menyusun jadwal kepulangan. Karena rindu mulai menempel pada dinding-dinding bayang-bayang rumah kami masing-masing. Ada yang tersalurkan, ada yang bertahan di pondokan. Salut kepada kalian yang merekalakan untuk tinggal di Rumah Putih ketika anggota yang lain menuju kampung halaman. Tetapi Maron juga tidak kalah nyaman. Ada foto keluarga the boys Al Maroni pada H-2 Idul Fitri.



Ekspresi yang ikhlas. Syukur yang menyelaras bahwa kami merasakan indahnya berbagi kebersamaan. Thank you Qanita, kamu sudah menjadi partner yang mendokumentasikan banyak hal agar lebih mudah diingat. Dan cerita-cerita hebat, berlanjut menjelang Idul Fitri terselenggarakan.



Minggu, 07 Agustus 2016

Refleksi: Ada Yang Mengajarkan Tentang Kehidupan #1




20 Juni 2016. 


Meninggalkan Jogja yang hangat, ke dalam rimba waktu Wonosobo yang dinginnya entah, mungkin karena kami waktu itu masih manja-malu, belum saling mengenal. Ada perasaan kaget, malas yang menumpuk, kebingungan bagaimana itu-ini nantinya, atau apapun itu yang masih terasa abu-abu. Udara waktu itu memang dingin, tetapi kehangatan kami memang hadir sejak hari itu juga. Atau mungkin lebih awal adanya? Entahlah, menerawang urusan hati orang lain itu kan sulit, sesulit apakah segala macam kenangan ini akan bertahan dalam waktu yang lama, atau mungkin waktu akan menggerus keberadannya. Koper-koper masuk. Karpet dan kasur tergelar. Ada rerasan di dalam hati, "Kita akan tinggal disini selama satu setengah bulan". Segala yang dimulai mempunyai akhir, rerasan pada awal kedatangan ini ternyata berubah total. Rumah putih sederhana itu telah berjasa penuh. Membangun ratusan kenangan, ribuan detik waktu obrolan. Hidup satu kali mengenal, mati seribu kali mengenal. 


"Iki jam piro sih? Iki adzan sholat opo e?" 

Kira-kira begitulah reaksi kami ketika sampai di pondokan dan terkejut, karena di Maron (desa tempat kami tinggal dan kerasan) adzan Ashar baru berkumandang sekitar pukul setengah 5, waktu ketika warga pulang dari wana (hutan). Juga Pujir yang tiba-tiba menyanyikan Faded, awalnya terasa absurd, tapi lama-kelamaan akhirnya terbiasa juga, bahkan ikut menikmati. Kami datang dalam suasana bulan Ramadhan yang syahdunya setengah mati. Ada 19 mushola di Maron plus satu masjid, yang semuanya ketika ba'da Maghrib selalu bergemuruh. Lantunan ayat suci yang mengudara di atas langit-langit pondokan kami, masuk ke dalam telinga, kemudian membekas di pikiran dan hati. Masya Allah, sehebat itukah kekuatan dari apa yang disebut dengan 'mengingat', atau lebih tepatnya 'mengenang'?

Malam pertama, kami bersiap dengan segala macam peralatan tidur. Memang begitu, agenda tidur kami harus diawali dengan acara pra-tidur: atur posisi, sleeping bag, sambil was-was kalau-kalau ada tikus yang meluncur ke bawah. Juga cerita-cerita pengantar tidur yang menjadi penghangat tambahan, penghangat yang membuat nyaman.  Ada juga suara-suara air di samping pondokan, blumbang yang biasa kami sebut dengan 'kaldu ikan' itu tidak pernah berhenti mengalir. Tidak ada yang berani mandi sore pada hari itu, satu alasan yang sama: dingin. Satu per satu cerita tersusun dari awal yang mengesankan ini. Pujir yang mengorok and Baping too, Adam dengan selimut pink, Dok Andy yang selalu tenang, Taufiq yang selalu mlungker. Lucu juga jadinya, ketika para perempuan harus selalu menaiki tangga untuk sampai di dunia atas, juga laki-laki yang ingin berkunjung ke dunia bawah, harus bersiap dengan teriakan kompak: Tidaaak!

Hari ke depannya, jadwal piket telah tersusun, warung penjual galon terdekat telah ditemukan plus berkenalan dengan pemiliknya, juga catering makanan siap ambil. Dan ternyata pagi hari di Maron sangat berkesan. Sahur pertama bersama teman (yang selanjutnya aku anggap sebagai 'keluarga') satu pondokan. Dengan wajah-wajah mengantuk dan badan yang tertutup sarung. Menu seadanya, makan bersama, diingat selamanya. Seperti masuk ke dalam mesin waktu saja ketika harus mengingatnya nanti, memasuki lorong-lorong dimensi yang sebenarnya sudah berada jauh di belakang. Lalu air wudhu subuh yang terasa seperti air kulkas. Sholat sambil menggigil. Lalu tidur lagi. Karena dingin. Karena waktu itu kami masih kangen rumah, kangen segala macam hal yang tersedia di Jogja. Atau sebagian dari kami malah mencari-cari sinyal internet.

Dua hari setelah kami datang, dua alien kecil datang bermain di sekitar pondokan. Awalnya kami tak mempedulikan mereka, karena memang sepertinya mereka sedang sibuk bermain dengan bambu, membentuk sebuah kerangka layang-layang, padahal angin disini cukup payah untuk bermain mainan itu. Atau mungkin sebenarnya mereka pada waktu itu hanya malu untuk berkenalan? Aku tak terlalu paham. Yang jelas, menjelang kepulangan kami, mereka meninggalkan perasaan haru juga titipan doa kepada dua orang kecil itu, yang kemudian kami ketahui bernama Wahyu dan Juli. Dua alien yang membuat kami merasa di rumah, 'home'. Juga candaan ndeso yang mereka tertawakan, entah pada saat itu kami tertawa bersama mereka, atau kami yang ditertawakan. Dunia anak-anak memang penuh dengan kesenangan, dan kesenangan itu menular kepada kami dari hari ke hari. Ada kekaguman, aku yang awalnya tersadarkan, bahwa dua alien itu masih alami, bersih dari sentuhan gadget yang terkadang menjengkelkan. Hari-hari awal itu, mereka masih malu-malu untuk masuk pondokan. Selalu berlari ketika hendak diajak interaksi, tetapi tetap saja ada senyuman yang tersungging di wajah-wajah itu. Juli selalu mengedipkan mata dan sedikit bergeleng! Khas alien yang satu itu ketika berbicara.

Wahyu, memang terlihat sedikit lebih tua dari Juli, padahal ia justru lebih muda. Gaya berbicara yang khas, bukan hanya perihal karena ngapak-nya, tetapi memang lucu luar biasa. Ekspresif, apa adanya. Produk asli Maron yang unik, tidak ada di lain tempat. Alien kecil yang sulit ditebak. Penuh kejutan. Walau awalnya terkesan seperti anak nakal, tetapi kami tahu kalau sebenarnya Wahyu anak yang baik. Beberapa kali kami sempat dibantunya mengumpulkan alien-alien kecil yang lain. Anak desa yang hanya mengenal bermain dan belajar. Sebersih kabut tipis yang selalu turun tiap-tiap pagi.

Ada yang mengajarkan tentang kehidupan. Waktu dan kesempatan. Ada banyak hal yang belum terkabarkan, tapi terasa baru saja. Sepertinya berkata-kata adalah tugas yang sulit, meski hal-hal itu terus ada di dalam pikiran. Lalu seberapa lama kita akan mengingatnya? Atau secepat apa kita akan melupakannya? Entahlah. Kita adalah anak-anak dari sungai waktu yang entah pula. Mengingat adalah kuasa Tuhan yang nyata, dan memiliki adalah karunia Tuhan yang ternyata benar adanya. Kita memang akan pergi, dan ditinggalkan pergi. Satu yang dapat tinggal untuk waktu yang lama ialah doa.

Ada yang mengajarkan tentang kehidupan. Mungkin bener juga kata Ipang, "kesempatan seperti ini, tak akan bisa dibeli". Memangnya kita bisa apa? Membuat mesin waktu? Kemudian berduyu-duyun kembali ke masa lalu, menemui diri kita di masa itu dan berkata, "Ah, betapa bahagianya kita di waktu itu". Lalu kita tersadar dan menatap kenyataan, kita di waktu itu akan lama berganti, menjadi sosok-sosok yang lebih tua, dan yang tersisa hanya apa yang ada di dalam sanubari. Kekagumanku terhadap apa yang kalian ajarkan tidak akan pernah habis! Ini bukan tentang perihal nilai-nilai dan aturan di atas kertas, ini adalah pelajaran tentang kehidupan. Kalian membawaku pada universitas kehidupan dengan materi kuliah berupa keiklhasan, menghormati, memberi, menerima, dan banyak lain lagi.

Ada yang mengajarkan tentang kehidupan. Lalu apa kabarnya Maron esok hari? Apakah mereka masih sama, menampakkan senyum-senyum di udara yang dingin? Bernafas dengan asap yang keluar dari mulut? Masjid-masjid yang tak lelah berkumandang? Apakah air masih susah? Apakah sudah punya tempat sampah? Apa Pak Turyanto hari ini masih berjualan mie ayam? Apa warung Pak Purwanto masih berjualan galon? Apa Pak Barjo masih berdagang kambing? Apa Pak Joko masih setia membina pemuda? Apa Pak Marji masih tegar berjuang demi warganya? Apa tempe kemul itu masih hangat? Apakah jalananmu sudah diperbaiki aspalnya? Apakah anak-anak SD itu sudah semakin rajin belajar? Apakah bapak-ibu pemain drum band itu sudah dipensiunkan, lalu diganti dengan mereka yang lebih kuat? Apakah balai desamu telah selesai berdiri gagah? Segala keterbatasanmu membuatmu istimewa!

Ada yang mengajarkan tentang kehidupan. Biarlah yang telah menjadi apa yang tersimpan. Dan doa yang kekal mengiringi. Ayo kita ulangi lagi! Kita buat ribuan kisah yang berbeda! Kita pelajari lagi berbagai macam mata kuliah di universitas kehidupan. Sebesar itu keyakinanku, sebesar itu pola doa-doa yang menyertai kalian.



Senin, 19 Januari 2015

Kau ini Bagaimana Atau Aku Harus Bagaimana? Versi Saya

Kau ini bagaimana Atau Aku harus bagaimana?

Kau ini bagaimana atau aku bagaimana
Aku belajar dan mengaji
Kau bilang aku hanya berorientasi pada studi
Kau ini bagaimana

Aku jarang ke perpustakaan
Kau judge aku mahasiswa tanpa masa depan
Aku senang diskusi dan membaca
Kau ajak aku foya-foya
Aku harus bagaimana

Kau bilang jadi mahasiswa harus cerdas
Perkataanmu justru berkesan menindas
Aku kau suruh aku jaga lingkungan
Kemewahanmu berkata “Ini lah gaya hidup masa depan!”
Kau ini bagaimana

Kau suruh aku sembahyang tepat waktu
Kau sendiri berkata “Santai saja lah, nanti dulu!”
Kau bilang peliharalah sunah-sunah
Tingkahmu sendiri kakean polah
Aku harus bagaimana

Kau bilang iman itu urusan manusia dengan Tuhan
Kau sendiri mengikuti jalan setan
Soal kebenaran aku berteriak lantang
Kau tuduh aku pembangkang
Perihal masalah korupsi
Kau bilang itu hanya soal bagi-bagi rejeki
Polemik islam liberal yang semakin liar
Kau katakan itu hanya fenomena global yang wajar
Kekerasan yang dilakukan oleh ormas-ormas
Kau berkata bahwa itulah hukum yang tegas
Aku harus bagaimana

Kau bilang ini era demokrasi
Suara kami kau letakkan di bawah laci
Kau bilang kita semua ini saudara
Diskriminasimu membuat saudara kami gila
Kau bilang menjaga kemaluan itu masalah sepele
Kau sendiri sering bergumul dengan para lonte
Kau bilang “Jangan menggangguku, aku sedang berdiskusi”
Tampaknya kau sedang bersafari
Kau ini bagaimana




Aku berusaha kreatif
Kau bilang aku tidak inovatif
Aku berusaha mecari kerja
Kau ajak aku bisnis barang dosa
Aku berusaha menjaga pandangan
Kau bilang tubuh wanita itu pemandangan
Aku berusaha mendapat rejeki halal
Kau tuduh aku mengalami gangguan mental
Aku berusaha menggapai kebaikan akhirat
Perilakumu penuh dengan maksiat
Aku berusaha mendapat ridho Tuhan
Kau berkata aku hanya pencitraan
Aku berusaha hidup islamis
Kau tuding aku anggota teroris
Aku harus bagaimana


(terinspirasi dari puisi asli dari Gus Mus)

Karya ini semata-mata hanya wujud ekspresi, tidak ada niatan dari saya untuk menjiplak atau meniru dari bentuk aslinya. Mohon maaf


Selasa, 04 Februari 2014

Tuhan aku titip salam buat bapak




kopi menyenangkan. 



Tuhan kan Mahatau, sebaiknya aku titip pesan kepadaNya. 



Apa kabar, Pak? Aku punya keyakinan, kau sedang bahagia disana menunggu kami. Tuhan jaga kau baik-baik kan? Aku akan selalu berdoa agar Tuhan perlakukan kau dengan baik. Dengan hebat. 


Ada kabar bahagia Pak. Icha sudah dapat membaca, aku yang mengajarinya. Seperti pesanmu yang dahulu : 
" Boleh kau sekaya raja, apabila tak berilmu sama saja kosong. Carilah banyak ilmu, lalu tularkan. Lekatkan pada ingatan masing-masing manusia yang kau ajarkan mengenai ilmu tersebut. Dengan begitu kau akan dianggap berilmu. Punya ilmu dan menularkan ilmu, maka kau dianggap manusia yang isi. Tak kosong lagi. " 

Tak lupa aku ajari Icha berhitung, yang lebih sulit dari anak seusianya. Orang kan perlu belajar ilmu pasti? Agar tak mudah diakali oleh orang lain. Meski kadang anakmu yang paling kecil itu marah karena aku terlalu memaksanya, namun akhirnya dengan sedikit rayuan tentang permen dan es krim, maka luluhlah juga hati kekanakannya. Kadang aku melihatnya menjadi tumbuh tinggi sekarang, dengan rambut ikalnya yang mulai menghitam. Adikku yang satu ini akan jadi juara seperti abangnya. Tentu aku yakin betul, Pak. 


Adikku yang besar? Sudah remaja dia, Pak. Kemarin aku melihat beberapa tumpuk buku novel diatas meja beajarnya. Rupa-rupanya dia telah menang lomba cerpen. Tanpa sepengetahuanku. Dan aku hanya senyu-senyum, adikku yang besar pun sudah mampu mengerti sedikit mengenai hidup, walau hitungan umrnya masih berhenti pada angka 14. 


Mama? Jika Bapak bertanya soal Mama, ya masih sama seperti dulu. Meski keriput mulai ada pada wajahnya, dan sisa-sisa kelelahan seusai mengurusi kami, namun tetaplah Mamaku ibu juara nomor satu di dunia. Masakannya pun tetap enak, dan Mama sudah tidak menangis lagi. Jiwanya kuat seperti karang, badannya tegar seperti batang pohon jati. Kini aku tahu rahasiamu, Pak. Kau tidak memilih wanita yang salah. Istrimu memang benar-benar tulus. 



Lalu apabila kami, mungkin aku terutamanya, merasakan kangen terhadapmu, bagaimana bisa kau menjawabnya? Apa benar doa-doaku telah sampai kepadamu, Pak? Lantas bagaimana jika ada pertanyaan dari adik-adikku yang menyulitkan, dan aku tidak dapat menjawab dengan baik, apakah kau masih bisa memberiku arahan seperti dulu? Ketika uang kami menipis, kami masih berharap pada gaji pensiunanm, lalu bagaimana jika itu masih kurang, sedang kebutuhan pokok sekarang makin naik? Apa bapak juga kangen kepada kami? 


Rumah kita sudah hampir jadi, delapan puluh persen. Orang-orang menghormati keluarga kita karena atas jasamu. 


Dan setelah aku belajar, selama kepergianmu, aku belajar. 


Ayah selalu ingin terlihat hebat, gagah, dan bagus di depan anaknya. Begitu kan?

Karena memang seperti itulah yang aku lihat atasmu. Tak pernah sekalipun kau merengek ketika jarum-jarum obat dimasukkan ke dalam kulitmu. Tak ada air mata yang keluar, ketika puluhan kantong darah masuk ke tubuhmu. Bahkan ketika trombositmu nol, kau merasa kedinginan setengah mati, kau masih tetap berusaha menjadi kuat meskipun kami tahu bahwa sakitmu sudahlah terlalu parah. Aku ingat betul ketika itu, kau minta dibawakan video srimulat. Ya tentu aku bawakan. Sedikit mengobati penyakitmu. Sedang sudah 3 bulan aku hitung kau tidak pernah tertawa lepas. Seperti ada ganjalan besar yang menggagalkan matamu untuk tertutup tidur. Apakah saat itu kau memikirkan kami, keluargamu? Atau masa depan anak-anakmu? Begitu kau paksakan untuk terlihat hebat, terlihat bagus. 


Ayah selalu ingin terlihat pintar, meski Ayah pun tahu kelak pengetahuannya akan tersusul oleh anaknya.

Pernah suatu ketika aku benar-benar tidak mampu mengerti pelajaran. Saat itu aku ingat betul aku baru boleh duduk di kelas 2 SD. Kau hajar aku habis-habisan agar mengerti soal ilmu eksakta itu. Kau caci lah, tempeleng lah, bahkan hingga tengah malam. Hasilnya? Kini aku dianggap cukup mampu untuk menyelesaikan soal-soal yang sulit untuk seusiaku. Aku tau kau tak ingin aku menjadi anak yang bodoh Pak. Kau antarkan aku pergi mengaji ke surau dekat rumah itu. Setelah remaja, baru kau minta aku untuk mengajarimu mengaji. Tentu agar aku lebih banyak mendapat pahala dengan dapat membaca, dan dapat mengajarimu. Kini aku malu, belum sempat lah aku hajikan kau, ah sudahlah. 


Salah satu harta terbaik kepunyaan seorang Ayah adalah anak laki-lakinya. 

Beberapa hari lalu aku buka kembali album foto, dan kudapati foto kita berdua. Like father like son. Seorang anak laki-laki tentu tidak akan jauh berbeda dengan bapaknya. Itu pun berlaku padaku. Meski kadang kau tak selalu memberitahuku tentang sesuatu, namun cara yang kau pakai adalah kau menunjukkan jalannya. Pak, aku ingat betul, kau wanti-wanti aku agar tidak terjerumus ke dalam dunia hura-hura. Kau suruh aku sholat tepat waktu. Segala sesuatunya kau buat serba disiplin. 



Bagaimana jika nanti suatu saat aku sudah wisuda dan mendapat gelar sarjana? Bagaimana jika nanti semua anakmu menjadi orang sukses? Bagaimana jika nanti suatu saat aku punya putra? Bagaimana jika nanti ada pertanyaan lain yang aku belum paham maksudnya? Bapak, kau selalu dapat mengajari kami segala hal. 



Aku kadang kesal, Pak. Keadaan memaksaku berdiri pada sudut ketidakpahaman. Teman-temanku mengajakku keluar, untuk sekedar melepas penat. Tentu sebagai anak muda aku pun mau, namun sejurus kemudian akun berpikir tentang berapa uang yang harus aku keluarkan. Apakah kegiatanku untuk sekedar melapas penat ini cukup penting untuk segera dilaksanakan? 


Aku harus cari uang untuk kehidupanku sendiri. Seperti seorang bapak yang sangat malu apabila tidak membawa pulang uang untuk keluarganya. Sudah bukan waktuku untuk bersenang-senang. Jalanku tentu semakin terjal, Pak. Dan aku harus membimbing adik-adikku di jalan yang sulit ini. 


Bagaimana jika aku tidak menjadi hebat sepertimu? Apabila aku punya putra kelak, cucumu, akan aku katakan bahwa kakeknya adalah Bapak Juara Nomor Satu di Dunia. Salamku kepada Bapak, Tuhan tolong Bapakku, dia juara. 



kopi habis dan bekas hitamnya ada di dasar cangkir. 


Tuhan menutup amplop penuh rindu dari laki-laki itu. Setelah itu Tuhan tersenyum, mengabulkan doa-doa orang yang ingin mengabdi tulus kepadaNya. Tuhan Mahatau.